Topik riset dan diskusi pembajakan produk atau pelanggaran HKI telah
berkembang di kalangan pakar ilmu ekonomi, hukum, dan ahli pemasaran, dan telah
memberikan kontribusi yang cukup baik bagi perkembangan dunia ilmu. Khususnya
untuk ilmu pemasaran, penelitian yang dikaitkan dengan pembajakan produk dapat
masuk ke bidang perilaku konsumen. Strategi pemasaran, dan pemasaran
internasional.8 Oleh karena itu, penelitian pembajakan produk di ilmu pemasaran
dapat dilakukan dari dua sisi, penelitian pada sisi permintaan dan penelitian
pada sisi penawaran. Penelitian pada sisi permintaan masih sedikit jumlahnya.
Topik yang dibahas biasanya menyangkut perilaku konsumen yang
memiliki dimensi majemuk. Penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli
pemasaran masih belum terbangun menjadi kerangka teori yang kuat, sehingga
masih banyak peluang bagi peneliti pemasaran untuk melakukan penelitian di bidang
ini (Field, 2000). Penelitian yang pernah dilakukan, misalnya penelitiannya Bloch
et al. (1993); Bush et al. (1989); Tom et al. (1998), dan Field (2000). Penelitian
pada sisi penawaran seringkali difokuskan pada investigasi strategi pembajakan
dan mengindentifikasi strategi-strategi anti pembajakan yang efektif. Tujuan
utamanya adalah berupaya mengurangi atau membatasi ruang gerak para pembajak,
mengingat suatu hal yang mustahil menghilangkan penyakit pembajakan yang sudah
berusia lebih dari seribu tahun ini.
Upaya ini akan efektif dengan keterlibatan aktif pemegang HKI (perusahaan
pemegang merek asli) dan pemegang power (pemerintah). Upaya memerangi bisnis
pembajakan sudah dilakukan dengan berbagai macam jurus atau strategi, dari
membawa tertuduh ke meja hijau sampai dengan membangun benteng disetiap
distributor untuk tidak terinfeksi oleh upaya penyaluran produk bajakan (Olsen
& Granzin, 1992; and Field, 2000). Dari hasil review tulisan-tulisan ilmiah
di berbagai sumber telah ditemukan berbagai strategi dan taktik yang telah
formulasikan oleh para ahli pemasaran. Beberapa bentuk strategi anti pembajakan
dan contoh penerapannya dari beberapa literature yang berhasil dikumpulkan sbb:
a.
Warning strategy
Perusahaan pemegang merek asli memberikan peringatan secara aktif
kepada para konsumennya terhadap produk
perusahaan tersebut yang dipalsukan. Contohnya Pembuat jam tangan terkenal di
dunia merek Rolex membuat iklan di the Wall Street Journal yang memberikan pendidikan
kepada konsumennya bagaiamana membedakan produk Rolex asli dengan Rolex palsu.
Dengan melakukan pendidikan kepada konsumen, maka diharapkan pembelian dan
penjualan produk palsu dapat di kurangi karena kesadaran akan bahaya dan
kerugian yang ditimbulkan oleh produk palsu tersebut terhadap konsumen dan produsen.
Strategi ini dipandang sangat mahal, karena harus di kampanyekan lewat media
massa seperti koran atau televisi, tetapi dalam jangka panjang, perusahaan akan
mendapatkan profit yang lebih baik.
b.
Withdrawal strategy
Perusahaan pemegang merek asli mengawasi dan memilih secara ketat
distributor yang memasarkan produknya di pasar yang dicurigai produk bajakan
sangat banyak dijual. Produk- produk di bawah merek ‘Hunting World’ hanya
dijual pada 80 pengecer di seluruh dunia. Kasus penjualan kaos merek Dagadu
Yogyakarta yang hanya membuka outlet penjualan produknya terbatas, bertujuan
untuk memberikan kepastian kepada konsumennya bahwa produk yang dibeli asli.
c.
Prosecution strategy
Perusahaan pemegang merek asli melibatkan tim penyidik yang dibentuk
oleh perusahaan sendiri untuk melakukan penyelidikan secara aktif tempat-tempat
yang dicurigai sebgai pembuat produk palsu dari perusahaan tersebut. Contoh
perusahaan yang sudah melakukannya, misalnya, Rolex dan Christian Dior. Namun,
persoalan di lapangan muncul ketika ada perusahaan yang dicurigai sebagai
pembuat produk palsu yang seharusnya dikenai sangsi hukum tetapi karena penegakan
hukum diberbagai Negara berbeda, menyebabkan sangsi hukum yang seharusnya
dikenakan tersebut tidak terjadi, atau kadang sangsi hukumnya tidak seimbang
dengan perbuatan yang dilakukannya.
d.
Hands-Off strategy
Perusahaan pemegang merek asli membiarkan pembajakan produknya karena
berbagai alasan. Misalnya, biaya untuk memerangi pemebajakan melalui upaya
hukum sangat tinggi dan hasilnya seringkali tidak maksimal. Ukuran pasar yang
tidak terlalu besar di suatu Negara untuk produk tertentu sering dipandang
tidak siknifikan untuk diperangi karena produk tersebut hanya dipasarkan di
domestic, dan kualitasnya sangat rendah sehingga mudah dikenali sebagai produk palsu.
Kebijakan ini terutama hanya digunakan untuk negara-negara terbelakang atau
mulai masuk ke kategori berkembang yang ingin menikmati produk-produk dengan merek
terkenal. Biasanya produk yang disukai oleh mereka dalah produk yang memiliki
nilai ‘pop culture’. Bisa juga produk-produk yang berdaur hidup sangat pendek dengan
harga murah, misalnya software dengan pemakaian jangka waktu tertentu, juga
seringkali tidak memerlukan perhatian yang serius terhadap pembajakan
produknya, karena pembeli akan memilih produk asli yang harganya terjangkau dan
memiliki garansi. Kadang strategi ini dilakukan oleh pemiliknya karena pemilik
merek asli khawatir akan kehilangan konsumennya akibat pindah ke produk
lainnya, sehingga membiarkan konsumen tidak tahu bahwa produk tersebut sering
dipalsukan. Misalnya Gucci yang menggunakan Warning Strategy telah menduga
bahwa konsumennya pindah ke produk merek lain yang tidak tersentuh oleh produk
palsu. Konsumen yang biasanya membeli dompet ‘Gucci’ bergeser membeli dompet
‘Fendi’.
e.
Monitoring Strategy
Perusahaan pemegang merek asli memandang bahwa distributor adalah
pemegang kunci penyebaran produk palsu dipasar. Karena itu, pendekatan dengan
distributor untuk membangun loyalitas akan lebih efektif dalam menghentikan
produk bajakan di pasar. Distributor di dorong untuk memegang peranan aktif
dengan cara melaporkan setiap temuan yang mencurigakan terhadap kemungkinan
produk palsu. Strategi ini biasanya di ikuti dengan berbagai macam insentif
untuk mendorong keaktifan distributor memerangi pembajakan produk. Banyak produk
merek terkenal yang bersifat ‘luxury’ atau mewah dan mahal memiliki hubungan
dengan pengecer yang memiliki reputasi tinggi dalam hal penjualan produk asli.
Dengan reputasinya ini penjual bahkan berani menanggung denda kerugian kalau
produk yang dijualnya ternyata palsu, sehingga mereka sangat aktif membantu
memerangi produk bajakan karena pada akhirnya akan merugikan mereka (pengecer).
Contohnya adalah Mr. Charles Bogar, seorang pengecer produk mewah di San
Farnsisco, berani mengeluarkan uangnya untuk bayar denda sebasar 1,7 juta dollar
karena klaim dari pemebelinya bahwa produk yang dijual ada yang palsu (Chaudhry
& Walsh 1996).
f.
Modification Strategy
Perusahaan pemegang merek asli melakukan upaya menciptakan metode
pelabelan dengan dibantu temuan-temuan teknologi terkini untuk membedakan
produk asli dan produk palsu( Lihat table 5)Nampaknya upaya ini memberikan
harapan yang baik, tetapi tidak berapa lama pelabelan deteksi digunakan, para
pembajak juga mampu mengantisipasi deteksi tersebut. Hal ini tidak mengherankan
karena penyebaran teknologi canggih sudah semakin mudah dan akses untuk
menguasainya semakin terbuka untuk berbagai lapisan dan golongan masyarakat
(Chaudhry & Walls 1996). Misalnya, ketika teknologi hologram digunakan di
kartu kredit untuk mengidentifikasi keaslian kartu tersebut, dengan segera para
pembajak melakukan upaya peniruannya tanpa menemui banyak kesulitan dengan
teknologi yang dikuasai mereka.
G.
Awareness, Action and Assertion
Harvey (1987) memberikan alternatif strategi yang lebih
komprehensif karena dipandang lebih memberikan hasil lebih baik dengan melalui
tiga langkah strategi yang dilakukan dalam satu kesatuan, yaitu meningkatkan
‘awareness’, mengembangkan ‘action’ plan, and melakukan ‘assertion’ atas hak
perusahaan untuk memerangi pembajakan produk. Langkah pertama adalah memberikan
kesadaran kepada semua pelaku bisnis yang terlibat dalam produk yang dijual,
baik itu konsumennya, distributornya maupun pelaksana penegak hukumnya, melalui
berbagai lobi, media dan publikasi. Misalnya perusahaan memberikan daftar
distributor dan pengecer yang di beri hak penjualan produknya secara resmi
kepada konsumen melalui iklan. Disamping itu, perusahaan sebaiknya juga menjadi
anggota aktif di berbagai asosiasi anti pembajakan produk, misalnya IACC
(International Anti Counterfeiting Coalition). Dengan bergabungnya perusahaan
pemilik merek asli diberbagai asosiasi baik internasional maupun domestik
diharapkan tindakan memerangi pembajakan lebih memberikan hasil yang nyata.
Indikator yang dapat disebut ‘hasil nyata’ tersebut, misalnya perusahaan dapat
mempertahankan atau meningkatkan kemampuan menghasilkan laba pertahun, perusahaan
mampu meningkatkan nilai perusahaan melalui harga saham yang kuat, dan
kemampuan membayar pajak ke pemerintah juga semakin besar. Langkah selanjutnya
adalah melaksanakan tindakan nyata dalam upaya meningkatkan ‘awareness’ melalui
semua staf perusahaan dari tingkat atas sampai ke bawah, terutama salah satu
manajer diberi kekuasaan untuk selalu berkomunikasi dengan media massa tentang segala
aktifitas dan kerugian yang ditimbulkan oleh pembajakan produk.
Demikian juga, perusahaan di dorong aktif terlibat di asosiasi
anti pembajakan dengan memperjuangkan plan yang sudah digariskan oleh perusahaan.
Harvey (1987) menyarankan perusahaan membuat divisi khusus untuk menangani berbagai
masalah yang menyangkut pembajakan produk. Langkah terakhir adalah melakukan
‘assertion’ strategi dengan melakukan kampanye atau pernyataan aktif kepada
pemerintah melalui berbagai lobi-lobi yang dilakukan oleh chairman perusahaan dalam
rangka mempengaruhi pembuatan peraturan dan hukum yang lebih tegas dan kuat.
Perusahaan yang melakukan strategi ini adalah Microsoft dengan produknya yang
menyebar ke seluruh dunia dan sangat popular bagi pembajak karena sangat mudah
ditiru dan sangat menguntungkan. Microsoft menggarap secara serius pasar China karena
jumlah pemakai produknya sangat banyak. Untuk memperkecil ruang gerak pembajak,
Microsoft bekerja sama dengan pemerintah China mengembangkan Windows versi
China sehingga sangat mudah digunakan oleh masyarakat China karena semua
perintah dalam program menggunakan bahasa China. Perusahaan-perusahaan berskala
internasional terutama yang sangat syarat dengan Hak Kekayaan Intelektual
seperti Microsoft atau Rolex telah secara aktif melakukan berbagai cara
memerangi pembajakan. Biaya yang dikeluarkan sudah dalam hitungan jutaan
dollar. Namun, kenyataan di lapangan, dari berbagai strategi anti pembajakan
yang telah di implementasikan di pasar, nampaknya upaya para operator bisnis
pemegang HKI dan pemerintah belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
memerangi pembajak.
Penyebabnya mungkin bisa berbagai macam, tetapi dari hasil
sementara penelitian yang telah ada adalah karena konflik budaya dan penafsiran
HKI, serta penegakan hukum yang belum maksimal. Namun demikian, penelitian yang
dilakukan oleh Bamossy & Scammon 1984 menemukan bahwa bantuan retailer atau
pengecer memiliki posisi kunci dalam pemasaran yang efektif hasil produk
bajakan. Olsen & Granzin (1992) juga mengatakan bahwa tanggung jawab para
pengecer dalam memiliki kesadaran memberantas pembajakan merupakan bagian yang
sangat besar proporsinya dalam upaya membangun jejaring (network) dan
mempengaruhi kemamuan para dealer untuk mensukseskan implementasi strategi anti
pembajakan dalam mengontrol arus barang dari produsen ke konsumen (Bush et al.,
1989; Harvey, 1987; and Harvey & Ronkainen, 1985). Dengan demikian, upaya
yang paling efektif adalah pendekatan pengusaha pemegang HKI membangun
kerjasama yang baik dengan para pengecer dan dealer untuk memperkecil
penyebaran produk bajakan (Olsen and Granzin, 1992).
semoga tidak ada lagi aksi pembajakan,karena itu snagat merugikan
BalasHapushttp://blog.binadarma.ac.id/babeyudi